AHLAN WA SAHLAN

SELAMAT DATANG

Cari Blog Ini

MESJID

MESJID
BASIS KEKUATAN UMAT

Selasa, 09 Maret 2010

Ijtihad Menurut Syaikh Utsaimin

Para salafiyyun dan juga ikhwaniyyun mengatakan bahwa kita tidak perlu bermadzhab dan kita semua boleh berijtihad, tidak perlu taqlid. Namun, bagaimana pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengenai hal ini ketika ditanya mengenai hukum ijtihad dalam Islam?

Setiap salafiyyun, saya rasa, mengenal Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ketika ditanya tentang ijtihad dan syarat-syaratnya, Syaikh al-Utsaimin menjawab:

Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu melakukannya karena Allah telah berfirman,

“Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [An-Nahl : 43, Al-Anbiya' : 7]

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan para penuntut ilmu (thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang mansukh (dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits nasikhnya (yang menghapusnya), atau menggunakan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan para ulama. Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at dan dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja, yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut.

Ternyata, menjadi mujtahid itu bukan kewajiban bagi setiap Muslimin. Ia hanya wajib bagi yang mampu saja, yaitu yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Syaikh juga mengatakan bahwa ada sebagian manusia yang baru sedikit ilmunya, namun sudah merasa boleh untuk berijtihad. Fenomena seperti itu, menurut Syaikh, sangatlah berbahaya.

Untuk dapat berijtihad, tetapi bukan sebagai mujtahid muthlaq tentunya, setidaknya harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum. Tentunya harus punya ilmu alat untuk hal ini.

2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum. Tentunya harus punya ilmu alat juga untuk hal ini.

3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma’.

4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.

5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu’jizatan al-Qur’an. Sehingga ilmu nahwu sharaf, balaghah dan sebagainya haruslah dikuaasi dengan benar.

6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur’an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.

7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbabul wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.

8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta’dil tajrih (screening).

9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.

10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.

Jika untuk mentarjih saja harus memenuhi syarat seperti itu, lalu bagaimana lagi untuk menjadi mujtahid muthlaq? Maka dari itu, janganlah kita ini merasa sudah layak untuk berijtihad, walau pun hanya mentarjih. Bahasa Arab saja belum becus, nahwu sharaf tidak mengerti, asbabun nuzul dan asbabul wurud tidak tahu, ijma’ ‘ulama tidak tahu, tetapi sudah merasa layak untuk berijtihad, sudah merasa layak untuk menafsirkan al-Qur`an? Sungguh berbahaya…. Jika mereka masih melakukannya, maka jelaslah akan siapa sesungguhnya yang mengikuti hawa nafsunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar